Terima kasih Atas kunjungannya

Minggu, 20 Oktober 2013

Pekerja anak-anak.



Keadaan perekonomian negara memang mempunyai pengaruh terhadap munculnya pekerja anak-anak.
Tetapi bukan berarti persoalan pekerja anak hanya ada di negara-negara berkembang saja, seperti Indonesia, melainkan juga negara maju.
Unicef (1997) menyebutkan bahwa pekerja anak-anak merupakan fenomena global yang dapat ditemui baik di negara berkembang seperti : Tanzania, Maroko, Portugal, Indonesia, dan Filipina, maupun di negara maju, seperti di Inggris dan Amerika Serikat.
Sedang Irwanto et al (1994) mengatakan di negara maju pun terdapat pekerja anak-anak, walau sifat dan jenis pekerjaannya berbeda.
Keberadaan pekerja anak di negara maju juga dikatakan Bellamy (1997), tapi dengan menunjukkan adanya perbedaan tujuan anak-anak bekerja.
Dimana di negara maju, anak-anak sering kali bekerja untuk uang saku, sedangkan di negara-negara berkembang untuk membantu perhasilan keluarga.



Potret Pekerja Anak-anak di Indonesia.

Thapa, Chetry dan Aryal (1996) mengatakan bahwa di banyak negara barat anak-anak mendapat bayaran untuk pekerjaannya, dan didorong oleh orang tuanya untuk bekerja selama liburan sekolah sebagai cara untuk membuat anak-anak mandiri dan menghargai pekerjaan dan waktu.
Sedang di negara berkembang, pekerjaan ditempatkan sebagai sumber pendapatan keluarga, sebagai pengganti sekolah atau belajar.
Perbedaan yang dikemukakan Irwanto (1994), Bellamy (1997), dan Thapa et al(1996) di atas, merupakan hal yang mendasari permasalahan pekerja anak-anak di negara berkembang lebih mencuat ke permukaaan.
Di negara-negara berkembang, umumnya pekerja anak kurang mendapat perlindungan, sehingga sangat rentan untuk dieksploitasi, dan dipekerjakan di lingkungan yang berbahaya.
Sampai saat ini permasalahan pekerja anak-anak, bukan tentang pekerja anak-anak itu sendiri melainkan terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak atau menempatkan anak-anak di lingkungan pekerjaan berbahaya.
Oleh karena itu, permasalahan tersebut menjadi prioritas ILO untuk menghapuskannya.
Pada tahun 1996, ILO mengajukan pembahasan suatu konvensi mengenai pekerja anak-anak di lingkungan yang membahayakan atau penghapusan sbagian besar bentuk kerja anak yang tidak dapat ditolerir (Bellamy, 1997).
Bellamy (1997) juga menyebutkan, bahwa tahun 1996, bertempat di New Delhi, para Menteri Tenaga Kerja Gerakan Non Blok menyetujui nahwa eksploitasi pekerja anak dimanapun diterapkan merupakan suatu kebiadapan moral dan suatu penghinaan terhadap martabat manusia.
Mereka memutuskan untuk memberikan prioritas segera bagi penghapusan pekerja anak secara total dan de facto di lingkungan pekerjaan yang membahayakan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa pengakhiran pekerja anak di lingkungan membahayakan tidak boleh menunggu berakhirnya kemiskinan.
Kemiskinan dunia tidak dapat dihapuskan pada akhir dasawarsa ini (tahun 2000). Tetapi pekerja anak di lingkungan yang membahayakan ... dan keterlibatan pelanggaran yang suram atas hak-hak anak ... dapat dihapuskan.
Unicef telah menetapkan beberapa kriteria pekerja anak-anak yang eksploitatif, yaitu bila menyangkut :
  • Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang terlalu dini.
  • Terlalu bayak waktu yang digunakan untuk bekerja.
  • Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis yang tak patut terjadi.
  • Upah yang tidak mencukupi.
  • Tanggung jawab yang terlalu banyak.
  • Pekerjaan yang menghambat akses pada pendidikan.
  • Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti : perbudakan atau pekerja kontrak paksa dan eksploitasi sosial.
  • Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis yang penuh.
Melihat kriteria tersebut, ternyata di Indonesia masih banyak anak-anak yang diperlakukan demikian.
Anak-anak yang bekerja di jermal merupakan salah satu contoh.
Joni (1999) menggambarkan bahwa jermal merupakan unit bangunan penangkapan ikan, dibangun di tengah perairan Selat Malaka, berada di sepanjang pantai timur Sumatera Utara.
Letaknya tidak kurang sekitar 6-8 mil dari pantai, dan secara geografis terisolir dari komunitas, komunikasi, dan nyaris tanpa transportasi.



Jermal.

Sofyan (1997) menyebutkan bahwa pekerja di jermal dapat dikatakan potret pekerja paksa (rodi) yang masih dijumpai di indonesia.
Anak-anak yang bekerja di jermal mengoperasikan alat-alat penangkapan ikan yang masih tradisional seperti menggulung gilingan pengangkatan jaring, menjemur, memilih ikan, tidak hanya pada siang hari, bahkan malam hari dengan mengandalkan kekuatan fisik semata.
Anak-anak ini bekerja sejak pukul 02.00 dini hari sampai pikul 20.00 (lebih kurang 18 jam).
Dan Ayom (1999) menambahkan bahwa anak-anak yang bekerja di jermal tidak mengenal jam kerja.
Mereka harus siap bekerja kapanpun, termasuk tengah malam, sebab pengangkatan jaring dilakukan setiap 1-2 jam sekali.
Pekerjaan yang demikian berat, ternyata tidak mendapar balas jasa yang setimpal.
Anak-anak tersebut hanya mendapat gaji Rp30.000,- sebulan (Sofyan, 1997), sedang menurut Ayom (1999) rata-rata gaji mereka sebulan hanya sekitar Rp70.000,- per bulan.



Salah satu pekerjaan yang dilakukan di jermal.

Di sisi lain, karena letak jermal berada di tengah laut, maka lingkungan kerja ini tergolong berbahaya, seperti ancaman cuaca buruk, ombak besar, atau angin ribut.
Ayom (1999) memberitakan bahwa bangunan jermal hanya berupa geladak kayu di tengah laut yang disanggah balok-nalok panjang.
Kalau laut bergelombang, jermal bergoyang.
Tentunya bila terjadi ombak besar atau angin ribut mempunyai resiko jermal akan ambruk.
Hal inilah yang menyebabkan anak-anak berpeluang untuk tercebur ke laut, padahal tidak semua anak-anak yang bekerja di jermal bisa berenang.
Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang menemui ajalnya disana.
Menurut catatan Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) sudah 10 anak tewas akibat bekerja di jermal dalam 2 tahun terakhir.
Pada bagian lain, Irwanto (1999) menyebutkan bahwa banyak anak-anak meninggal akibat gigitan ular dan sakit yang tidak diobati.
Dari sisi perundang-undangan yang dimiliki Indonesia, terlihat masih belum bisanya Indonesia bersikap tegas melarang anak-anak bekerja.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah merupakan penyebab begitu dibutuhkannya tenaga anak-anak untuk memperoleh pendapatan sendiri, atau membantu perolehan pendapatan.
Pengalaman dalam banyak kasus yang ditemukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Kerja, pengusaha akan mematuhi bila harus mengeluarkan anak dibawah umur dari tempatnya bekerja.
Namun hambatan datang justru dari pihak orang tua dan lingkungan yang menolak keputusan tersebut, dan sebaliknya menyerang pihak yang mengadvokasi persoalan ini, seperti LSM, dan lain-lain (Sunarno dan Jahja, 2000).
Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, pernah pula menggunakan pendekatan law enforcement untuk menertibkan pekerja anak di sektor informal, terutama anak-anak jalanan, dengan berpegang pada Perda nomor 11 tahun 1988 tentang ketertiban umum di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur KDKI Jakarta No. 1738 tahun 1993 tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pembinaan dan Pengendalian Pedagang Asongan di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur No. 238 tahun 1988 tentang Pelaksanaan Operasi Penertiban dan Pembinaan terhadap Gelandangan, Pengemis, Pedagang Asongan, dan Pengamen Bis Kota.
Hasilnya, hingga detik ini Pemda DKI tidak juga mampu menghapuskan pekerja anak pada kategori tersebut.
Bahkan, pendekatan law enforcement tersebut justru hanya mempersulit dan merugikan pekerja anak itu sendiri.
Sebab dengan pemberlakuan peraturan tersebut, otomatis kegiatan pekerja anak-anak ini menjadi ilegal sehingga dimana-mana terjadi pengusiran dan penyitaan barang.



Konsekuensi logis bagi pedagang asongan yang ditertibkan dan barang dagangannya yang disita adalah hilangnya pekerjaan dan medan kerja.
Padahal anah-anak tersebut membutuhkan penghasilan, baik untuk membantu orang tua atau untuk hidupnya sendiri.
Apa yang dilakukan Pemda DKI ini sesungguhnya membuka peluang bagi anak-anak untuk menjalankan pekerjaan yang lebih buruk atau bahkan melakukan pekerjaan kriminal.
Pengalaman negara Bangladesh memberikan contoh betapa tujuan mulia sebuah hukum tidak selalu berdampak positif bagi pekerja anak-anak.
Rancangan Undang- Undang Harkin yang diperkenalkan ke Kongres Amerika pada tahun 1972 dengan tujuan melarang impor barang-barang yang diproduksi anak-anak berusia dibawah 15 tahun, dan diberlakukan sejak September 1996, menyebabkan industri pakaian di Bangladesh kalang kabut yang mana enam puluh persen dari produknya yang bernilai 900 juta dolar AS diekspor ke Amerika Serikat.
Untuk melindungi produksi, maka pekerja anak-anak yang kebanyakan perempuan segera dipecat dari pabrik-pabrik pakaian jadi.
Suatu studi yang disponsori oleh organisasi-organisasi internasional, akhirnya menemukan bahwa beberapa anak dipecat, bekerja di tempat-tempat yang lebih membahayakan.
Seperti di bengkel-bengkel yang tidak aman dimana merena dibayar rendah, atau di tempat-tempat pelacuran (Bellamy, 1997).



Beberapa penelitian (Asra, 1995; Bellamy, 1997; Imawan, 1999) mengungkapkan bahwa mereka yang termiskin dan terbelakang memasok sebagian besar pekerja anak.
Dengan demikian, selama pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan, sangatlah ironis bila menggunakan pendekatan hukum untuk menghapus pekerja anak-anak.
Selain menyediakan pranata hukum, langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pekerja anak-anak adalah melaksanakan Program Wajib Belajar 9 tahun.
Pada tahun 1984, pemerintah mencanangkan wajib belajar 6 tahun.
Atas dasar keberhasilan yang dicapai program tersebut, disamping tekad mengembangkan sumber daya manusia dalam PJP II, pemerintah pada tahun 1994 mencanangkan program Wajib Belajar 9 tahun.
Berbagai negara mengakui bahwa Progra Wajib Belajar merupakan perangkat kebijakan yang efektif untuk mengurangi anak-anak bekerja.
Sekalipun demikian (Sumantri, 1996) mengatakan bahwa istilah wajib belajar sebenarnya tidak cocok dengan maksud kebijakannya sendiri.
Kebijakan ini rupanya lebih berpengaruh pada tekad pemerintah untuk membuat semua anak Indonesai usia 7-15 tahun dapat memperoleh kesempatan belajar selama 9 tahun.
Jadi sesungguhnya ini lebih merupakan suatu tawaran bukan kewajiban.
Kewajiban niscaya melibatkan sanksi, dalam hal kebijakan ini tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak bersekolah atau berhenti bersekolah pada usia tersebut.
Lebih lanjut (Sumantri, 1996) menyatakan bahwa meskipun pendidikan dibebeaskan, pelaksanaan Wajib Belajar tetap membebankan biaya pada orang tua keluarga miskin termasuk opportunity cost.
Mengingat kemiskiman merupakan faktor uutama yang mendorong munculnya pekerja anak-anak, maka program pengentasan kemiskinan melalui Program Instruksi Presiden tentang Daerah Tertinggal (IDT), dapat pula dimasukkan sebagai suatu kebijakan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan anak-anak yang bekerja.
Program ini merupakan upaya sistematis untuk mendorong keluarga miskin di desa-desa tertinggal untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif melalui penyediaan modal kerja sebesar 20 juta rupiah ;per tahun selama tiga tahun berturut-turut, disamping juga memobilisasi dana untuk keluarga miskin yang tinggal di desa yang tidak tergolong tertinggal.
Berkaitan dengan pencegahan anak-anak bekerja, Sumantri mempunyai catatan tentang program tersebut dimana dikatakan bahwa pemberantasan kemiskinan merupakan upaya yang sangat penting dalam jangka panjang untuk menanggulangi masalah pekerja anak-anak.
Namun dalam jangka pendek upaya tersebut sangat mungkin justru akan menambah beban anak.
Upaya pengembangan kegiatan produktif bagi kalangan keluarga miskin boleh jadi memberi beban tambahan pada anak yang sebenarnya juga sudah bekerja membantu keluarga.
Suatu penelitian yang disponsori ILO/IPEC menunjukkan bahwa hal ini sama sekali tidak dijadikan pertimbangan dalam perencanaan dalam pelaksanaan program IDT.
Disamping itu, Irwanto (1999) menyebutkan bahwa adanya kecenderungan dimana industri manufaktur mulai melibatkan runah tangga dalam sistem kontrak informal yang dikenal sebagai “sistem sub kontraktor”.
Hal ini didasarkan pada penelitian Nachrowi et al (1996) dan Pardoen et al (1996) yang menunjukkan bahwa anak-anak segala usia terlibat dalam sistem berikut.
Berkaitan dengan bantuan IDT bagi keluarga miskin, maka akan terbuka kemungkinan anak-anak justru akan mendapatkan pekerjaan yang lebih berat.



Sumber :
Bp Hardius Usman.
http://oryza-bitha.blogspot.com/2010/10/pekerja-anak-anak-kondisi-pekerja-anak.html
http://oryza-bitha.blogspot.com/2010/10/pekerja-anak-anak-kebijakan-pemerintah_16.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar