Terima kasih Atas kunjungannya

Minggu, 04 September 2011

Menyembah rakyat.



agussuwage_lick.JPG


Kalau anda sengaja mencitrakan diri sebagai dermawan,
dan orang mempercayai anda bener-bener pemurah yang rajin nyoh-nyoh-nyoh, maka jangan sekali-kali berlaku pelit kepada siapa pun.
Setiap proposal datang meminta sumbangan ini-itu,
dan ribuan orang rame-rame menadahkan tangan,
haruslah semua itu dipenuhi.
Tak peduli permintaan bantuan itu murni dan memang selayaknya dibantu,
atau sekadar tipa-tipu memanfaatkan peluang kedermawanan anda.
Sekali saja citra kedermawanan itu diingkari
– mungkin memang sedang ‘kanker’ alias kantung kering –
maka harapan khalayak akan ambyar.
Saat itulah mungkin anda dipersalahkan.
Bisa-bisa malah dikutuk.
Itulah repotnya bermain politik citra.


Begitu pun seumpama anda terlanjur dicitrakan sebagai penyabar dan selalu berpenampilan cool dan calm,
maka khalayak akan terkaget-kaget tatkala anda mengeluarkan siung amarah.
Padahal, apa sih salahnya orang marah?
Itu kan manusiawi banget?
Khalayak agaknya belum bisa menerima kenyataan jika citra yang dipersepsikannya tak terpenuhi.
Dan karena itulah Mbakyu Celathu tiba-tiba sok kritis dan ambil keputusan ganjil. Mas Celathu harus mengubah gaya penampilannya.


Citra sampeyan harus diganti.
Jangan sok celelekan lagi!
Demi memenuhi order biniya,
Mas Celathu yang biasanya murah senyum dan sering tampil cengengesan,
kali ini memaksakan diri tampil njegadul.
Garis bibirnya ditarik ke bawah,
rada mecucu laiknya bocah tak kebagian permen.
Sungguh ganjil.
Tidak adat sabannya dia begitu.
Tampak sekali dia tersiksa berperangai begitu.
Apalagi ketika berada di tempat umum.


Mas Celathu yang biasanya ramah dan rajin mengobral sapaan,
tiba-tiba seperti zombie berkeliaran.
Pandangannya datar, cuma melihat satu fokus.
Seolah-olah di kiri kanan hanya ada angin.
Tak pernah berpaling.
Mulutnya yang mrengut disempurnakan oleh tembemnya pipi yang digelembungkan, sehingga moncongnya semangkin lancip.
Lucu banget, mulutnya mengingatkan orang pada brutu ayam nungging.


Jaga Image


Gayanya yang sok ramah dan cengengesan yang kerap dipamerkannya,
rupanya disalahpahami sebagai ikhtiar tebar pesona.
Mbakyu Celathu yang belakangan memang mudah terbakar api cemburu,
memang semangkin kritis.
Tapi bukan itu yang menyebabkan dia mempertimbangkan penampilan suaminya. Melainkan, dia tak ingin suaminya dipersepsikan secara keliru,
sebagaimana pekan lalu dialami Pak SBY.
Kasihan bener pemimpin ini.
Gini salah, gitu salah.
Lha wong cuma marah dan menegur menterinya yang ngobrol sendiri dalam Sidang Kabinet, kok beritanya jadi heboh.
Ya pantaslah yang begituan ditegur dan dimarahi,
termasuk dulu ketika ada bupati ngorok saat beliau pidato.


Mulai sekarang sampeyan harus senyum dan tertawa secukupnya.
Kalau perlu tunjukkan bahwa sampeyan bisa cengeng.
Bisa juga marah.


Tapi saya kan tak bisa mengubah watak begitu saja.
Semua ini kan asli dari sononya.
Apalagi saya nggak terbiasa merekayasa penampilan. Gimana tuh…?


Memang, sulit baginya tampil menjadi bukan dirinya.
Aslinya Mas Celathu memang selalu begitu.
Dia selalu tampil lugas.
Polos apa adanya.
Sepertinya tak ada rahasia yang disembunyikan.
Bahkan terkesan suka menggampangkan masalah.
Berwatak dan gaya macam itu, bukanlah rekayasa.
Apalagi usaha tebar pesona.
Ketika dia memutuskan bekerja di ranah publik dan kerap disorot khalayak,
dia berjanji pada dirinya untuk tidak terperangkap pada sindrom “jaim” alias jaga image.


Melahirkan Kepalsuan


Kalau saban hari berpura-pura, kan capek.
Mosok di luar panggung tetap akting.
Malah seperti wong edan.
Gelem ra gelem, aku ya cuma kayak gini.
Kadang cengengesan, kadang ya bisa mangkel,
bisa memaki, bisa kecewa. Jika diperlukan,
ya bisa marah-marah, asalkan memang ada alasan untuk memarahi.
Kalau marah direkayasa, salah-salah nanti malah dapat musuh baru,” kilah Mas Celathu.


Jadi, kalau kali ini dia tak mau lagi menuruti permintaan isterinya,
yaitu tampil beda diluar kebiasaannya,
itu lantaran dia memang kesulitan nglakoninya.
Tampil menjadi bukan dirinya, pasti melelahkan.
an lama-lama juga bakal ketahuan belangnya.


Saya nggak mau ikut-ikutan bermain politik citra,
pinta Mas Celathu setengah memohon.


Akhirnya kompromi didapat.
Mulai hari ini, biarlah semua tampil apa adanya. Alamiah.
Tanpa rekayasa.
Pasangan suami istri ini agaknya masih tetap percaya,
sesuatu yang tulus dan jujur jauh lebih mulia.
Sementara sesuatu yang tampil penuh polesan,
justru akan membahayakan karena cenderung melahirkan kepalsuan.
Ujung-ujungnya menjadi kebohongan.


Kesepakatan untuk mengagungkan kejujuran,
melahirkan kesejukan dalam keluarga Celathu.
Bahwa ternyata di luar sana masih gerah, barangkali memang iya.


Bukankah menyongsong pesta coblosan nasional,
orang-orang terus bermain dan memain-mainkan politik citra. Full rekayasa.
Mereka yang ingin njago jadi legislatif atau eksekutif sedang sibuk memoles performance-nya.
Slogan-slogan dan puja-puji akan bertaburan di langit Indonesia.
Semua akan tampil serba indah,
dan rakyat kecil kembali akan dipertuankan.
Kalau perlu dijilati karena rakyat mulai dianggap penting lagi.
Inilah sebuah ritual permanen lima tahun sekali.
Rakyat disembah.
Rakyat dibanggakan,
dibujuk partisipasinya,
dan setelah itu – seperti biasa — rakyat segera dilupakan lagi.


Biarlah semua itu terjadi sebagai keniscayaan demokrasi klas Taman Kanak-Kanak.
Mas Celathu hanya percaya,
tambah hari rakyat kecil pastilah tambah pintar.
Rakyat bukanlah sejenis keledai yang tiap lima tahun ikhlas dikibuli.
Pastilah mereka bisa membedakan mana emas dan mana loyang.
Mana yang beneran, dan mana yang kadal-kadalan.



Butet Kataredjasa


Sumber : http://butetkartaredjasa.blogdetik.com/2008/08/30/kolom-celathu-menyembah-rakyat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar