Terima kasih Atas kunjungannya

Minggu, 04 September 2011

Guru sejati.



kepala-dijunjung.jpg



Musuh terberat dalam setiap peperangan ternyata bukanlah lawan yang bakal menyerang kita. Dengan berbagai strategi – siasat cerdik maupun licik – mungkin si lawan bisa ditaklukkan. Dan lawan jadi pecundang, kita jadi pemenang. Tapi setelah kemenangan diraih dan kita terkekeh-kekeh menggenggam kemenangan, ternyata si musuh abadi masih belum juga sirna. Dia masih nempel, melekat pada diri. Kemana pun kita pergi, musuh itu terus mengikuti. Jika mau diringkus, dia cekatan berkelit. Mau ditikam, malah menikam duluan. Mau ditinggal lari menjauh, eh malah semakin mendekat.
Siapakah musuh yang sulit ditaklukkan itu? Diri sendiri.

Inilah yang sekarang sedang menghantui Mas Celathu, setelah dia menyaksikan bagaimana kawan-kawannya selalu gagal mengalahkan nafsu-nafsu dirinya. Mungkin itu juga terjadi pada dirinya sendiri. Mas Celathu pun belum pernah berhasil menaklukkannya.

Saya ingin cari guru yang bisa mengajari bagaimana caranya bisa mengalahkan diri sendiri. Nggak tahu kemana. Pokoknya saya akan pergi rada lama, pamit Mas Celathu kepada bininya suatu pagi.

Apa? Mau minggat ya? Mau nggak bertanggungjawab sebagai suami? Oooo,…tambah tua kok tambah kenthir. Mau seneng-seneng sendirian ya? Atau jangan-jangan punya selingkuhan. Iya? Iya? Mbakyu Celathu yang kemarin genap 49 tahun, langsung sewot menyerocoskan amarah.

Lho bukan begitu. Justru tambah tua, saya pengin tambah bijaksana. Mau cari ilmu sejati, biar tambah bener jadi manusia, jawab Mas Celathu kalem, dengan kepala menunduk dan wajah culun, seolah-olah minta dikasihani. Lalu dia menghiba-hiba laiknya bocah merengek minta permen. Dikiranya, kalau wajah sudah mewek begitu, sang istri lalu kasih exit permit.

Please,….tolong, kali ini saja aku diijinkan ya? Nanti kalau aku udah dapat ilmunya, kamu kuajari deh. Biar tambah cantik dan mempesona sebagai seorang isteri, rayunya lagi, bener-bener rayuan full gombal.

Memalak Pemenang

Mbakyu Celathu tak bergeming. Apalagi, niat suaminya ini terasa nganeh-anehi. Bukan adat sabannya. Biasanya, kalau mau pergi selalu ketahuan mau kemana, dan berapa lama. Lha kok ini mau kabur tanpa batasan yang jelas. Jadi ya layak dicurigai. Dan harus dilarang. Hanya itu yang mendasari pikiran bininya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dunia batin Mas Celathu sedang bergolak.
Apa yang menyebabkan bergolak?

Rupanya Mas Celathu sedang prihatin melihat orang-orang, siapa pun dia (mungkin termasuk dirinya), yang selalu gagal mengalahkan nafsu-nafsu purba yang selalu bersemayam di lubuk terdalam. Gairah yang tidak senonoh itu bisa jadi sifat serakah dan kesombongan. Menurutnya, orang terdorong usil mengutil anggaran proyek atau rajin memalak pemenang tender, mungkin lantaran ia belum berhasil meredam sifat kerakusannya. Maunya makan melulu. Tak bisa mengetahui batas, saat kapan dirinya merasa kenyang. Sedang yang sombong senantiasa menganggap diri superman, sehingga merasa bisa menyelesaikan semua persoalan dan cenderung menganggap manusia lain cuma ecek-ecek yang tak punya arti apa-apa.


kepala-ngimpi.jpg


Namun, bisa pula nafsu purba itu berupa sindrom bintang, merasa dirinya adalah pahlawan yang berhak dihujani tepuk tangan dari menit ke menit. Atau nafsu megalomania membuat diri seseorang selalu ge-er: merasa paling jagoan dan paling kuasa, merasa dirinya nabi, merasa dirinya paling pinter sehingga kerjaanya cuma mengritiiiiik melulu, tapi giliran dikritik akan ngamuk.

Menurut Mas Celathu, semua orang memiliki sifat ini. Persoalannya ada yang bisa mengendalikan, ada yang remnya blong. Bablas menerabas batas-batas, dan seringnya baru tersadar setelah tersandung pasal-pasal hukum yang menyebabkan dirinya akrab dengan dipan semen dalam sebuah kerangkeng.

Jurus Jitu

Tapi, potensi sandungan Mas Celathu lain. Yaitu, dia belum bisa menaklukan dirinya dalam perkara mengalahkan rasa capek dan bosan. Mungkin ini sandungan yang bisa mengganjal langkahnya. Dulu pengin jadi perupa, eh disergap kebosanan lalu jadi pengecer cangkem alias pemain tonil. Pernah juga mau jadi saudagar, tapi gara-gara bosan dikibuli Mas Celathu melengserkan diri dari tahta keprabon.

Nah ini yang rada lain. Berkaitan dengan nafsu megalomania yang ada dalam dirinya, juga diri siapa pun, suatu kali dia ngebet banget ingin terpahlawankan. Berhubung cara gampang jadi pahlawan adalah nyebur ke medan pertempuran, maka dia selalu mencari wilayah berbahaya. Dia ingin ikutan bermain api. Diterjuninya medan pertempuran ranah advokasi pembelaan kepada gay, lesbian dan pengidap HIV-AIDS yang selalu didiskriminasi, korban-korban penggusuran, atau kasus lainnya. Mas Celathu yakin, di situlah pujian heroistik mudah didapatkan. Maka dia pun menyebarkan harapan kemenangan.

Tapi apa yang sesungguhnya terjadi? Rupanya, Mas Celathu nyemplung ke situ tidak berniat memenangkan pertempuran. Dia hanya butuh keplok, tepuk tangan. Jika pujian sudah didapatkan, ya sudah. Dia akan meninggalkan gelanggang sambil bersiul-siul, membiarkan pejuang-pejuang lain pada kecewa dirinya, karena harapan kemenangan yang dijanjikan tak terkabulkan. Mau apa lagi, toh tepuk tangan sudah dihadiahkan. Dan ternyata, nafsu-nafsu seperti ini bukan monopolinya. Orang lain boleh membohongi dirinya tak punya sifat begituan. Tapi Mas Celathu yang belum terampil bermunafik-ria, mencoba berani mengakui.

Menyadari hal itu sebagai titik lemahnya, maka Mas Celathu berniat banget mencari guru sejati yang bisa mengajari. Dia ingin menguasai jurus jitu untuk mengalahkan nafsu-nafsu jahat yang bercokol di sanubarinya.

Boleh ya,…ijinkan saya pergi mencari guru sejati, rengek Mas Celathu lagi kepada bininya.

Tidak boleh. Mencari guru sejati nggak usah kemana-mana.
Sampeyan itu guru sejati bagi diri sampeyan sendiri.
Makanya jangan sok nyepelekan agama.
Agama itu untuk dihayati dan ditindaklanjuti.
Bukan untuk guyonan, apalagi diperdagangkan, Mbakyu Celathu yang hajjah itu menjawab tegas, membuat Mas Celathu yang (terkesan) belum beragama secara baik dan benar, bener-bener mati kutu. Modiaaarr kowe.




Butet Kartaredjasa

Dimuat SUARA MERDEKA, Minggu 10 Agustus 2008, hal 1, NASIONAL



Sumber : http://butetkartaredjasa.blogdetik.com/2008/08/10/kolom-celathu-guru-sejati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar