Jumat, 26 Juli 2013
Nilai sejarah Jakarta harus dikedepankan.
Nilai utama kota Jakarta adalah sejarahnya.
Ini yang harus ditawarkan kepada pelaku pariwisata dan wisatawan.
Menurut statistik, Jakarta adalah pintu masuk internasional kedua terbesar di dunia setelah Denpasar.
Ada sekitar 150.000 wisatawan asing yang masuk per bulan melalui bandara Soekarno-Hatta.
Jumlah ini adalah 27 persen dari total wisatawan asing yang masuk ke Indonesia.
Sudah seharusnya pemerintah Jakarta lebih giat mengemas Jakarta menjadi tujuan wisata, bukan hanya tempat singgah.
Bangunan rusak di dataran Fatahillah. (Sigit Adinugroho)
Sejarah Jakarta secara geografis dimulai dari Kota Tua, sebuah daerah di utara Jakarta.
Usianya sangat panjang, bahkan sebelum ia dipanggil "walled city of Batavia", jauh sejak mulanya menjadi pemukiman dan pelabuhan yang kita sering dengar sebagai Sunda Kelapa.
Tidak banyak yang tahu juga, Kota Tua pernah diduduki oleh Portugis dan Inggris walau jauh lebih singkat waktunya daripada Belanda.
Jejak Belanda jauh lebih banyak di Kota Tua karena memang merekalah yang paling lama menduduki kota ini, paling tidak dari abad ke-16 sampai ke-19.
Deretan toko di sisi lain Kota Tua, seharusnya bisa dimanfaatkan juga. (Sigit Adinugroho)
Pada awalnya Belanda tidak memiliki niat untuk menduduki Indonesia secara politis, tetapi hanya kepentingan strategis komersil.
Jakarta dijadikan pusat transit untuk perdagangan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Lama kelamaan, karena tekanan dari masyarakat lokal dan berbagai kepentingan, Belanda mulai menyadari pentingnya meletakkan akar yang kuat secara politis.
Walaupun begitu, selama paling tidak satu abad keberadaan Belanda di Indonesia hanya diwakili VOC, serikat perdagangan.
Secara geografis, Jakarta di zaman Belanda terbagi menjadi dua: Kota Tua dan Kota Baru.
Kota Baru dibuat memanjang ke tenggara yang dihubungkan oleh Molenvliet (sekarang kita kenal sebagai Jl. Hayam Wuruk), berpusat di Koningsplein ("dataran raja", atau Monumen Nasional sekarang), lalu berlanjut lagi ke arah tenggara melewati Weltevreden (Salemba Raya) dan berujung di Meister Cornellis (Jatinegara).
Karena bentuknya, Batavia dulu juga disebut sebagai kota berbentuk "bel" atau "lonceng".
Banyak peninggalan Belanda tersebar di Kota Tua dan Kota Baru, tetapi paling terlokalisasi (walaupun belum tentu terawat) ada di Kota Tua.
Oleh karenanya, jika Anda ingin "kursus kilat" tentang sejarah Jakarta, Kota Tua adalah tempat paling baik mendapatkan jawabannya, tentu ditemani dokumentasi atau pemandu yang pintar.
Bangunan tua yang barangkali dulunya adalah sebuah bar. (Sigit Adinugroho)
Satu hal yang menjadi kendala ke Kota Tua adalah akses.
Busway ke arah Kota sudah cukup memadai walaupun halte Kota masih saja kumuh, dan terkadang terjadi kepadatan komuter.
Bepergian dengan kendaraan bermotor kurang nyaman karena lahan parkir tidak tersedia mencukupi, seharusnya kita menggunakan sarana transportasi publik.
Bersyukur, sebagai alternatif halte Kota, ada halte Fatahillah di bagian utara Kota Tua yang merupakan bagian dari koridor busway baru antara Pluit dan Tanjung Priok.
Halte bis Transjakarta yang dirancang sesuai konsep Kota Tua. (Sigit Adinugroho)
Haltenya sangat nyaman dan dibuat dari material yang lebih solid.
Arsitekturnya menyesuaikan konsep "art deco" walau belum sempurna.
Pemasangan mesin hitung mundur di lampu merah penyeberangan untuk penyeberang jalan.
Serasa di negeri yang maju adalah nilai plus untuk pemerintah Jakarta.
Atraksi utama Kota Tua, Museum Fatahillah. (Sigit Adinugroho)
Atraksi utama di Kota Tua adalah, tentu saja, Museum Fatahillah.
Museum ini dulunya adalah stadthuys, atau balai kota.
Pernah juga menjadi penjara dan dataran Fatahillah menjadi saksi eksekusi mati para kriminal.
Dataran Fatahillah sekarang menjadi ruang publik di mana banyak kelompok masyarakat bisa berekspresi.
Sambil menikmati kopi di Cafe Batavia di seberangnya, terlihat kontras dengan suasana tenang nan elegan di dalam dan hiruk-pikuk di luar.
Museum Bank Mandiri yang cukup terawat, namun belum semenarik Museum Bank Indonesia. (Sigit Adinugroho)
Beberapa lokasi di Kota Tua cukup menarik dan layak dikunjungi, sebut saja Museum Bank Indonesia dan Cafe Batavia.
Namun, lokasi-lokasi lain lebih layak dinikmati arsitektur aslinya.
Suasana di luar pun kadang terlalu hiruk-pikuk sehingga kesan nostalgia itu hilang.
Banyak penjaja menawarkan jasa foto dengan properti seperti mobil antik.
Jalan bebas kendaraan bermotor yang diisi pedagang. (Sigit Adinugroho)
Mobil antik itu diparkir begitu saja di dalam kompleks yang seharusnya tidak boleh dilalui kendaraan bermotor.
Bangunan rusak di sisi lain Kali Besar. (Sigit Adinugroho)
Selain itu, Kota Tua menjadi sebuah perangkap turis ("tourist trap") yang terkadang membuatnya tidak nyaman dikunjungi.
Pengunjung memadati tempat-tempat yang ditulis di buku panduan wisata atau yang direkomendasikan temannya.
Padahal, banyak bangunan tua di sekitarnya yang kita tak tahu kisahnya terbengkalai begitu saja.
Toko Merah dari seberang Kali Besar. (Sigit Adinugroho)
Kali Besar yang baunya kurang sedap itu pun ada ceritanya, tapi tak dirawat.
Menarik jika ada inisiatif (baik dari pemerintah atau masyarakat) untuk menghidupkan Kota Tua lebih dari atraksi yang "terkenal".
Terimakasih kepada komunitas-komunitas mandiri masyarakat yang misinya mengenalkan sejarah Jakarta ini secara lebih luas, dengan cakupan yang juga lebih luas dari beberapa atraksi utama.
Sejarah juga bukan cuma satu, dua atau sekelompok tempat.
Kalau merasa sedikit ingin bertualang, masih ada beberapa peninggalan di Kota Baru yang tak kalah signifikan, walau memang harus lebih kerja keras untuk mencarinya.
Sumber :
http://ranselkecil.com/
http://id.berita.yahoo.com/nilai-sejarah-jakarta-harus-dikedepankan-014536556.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar