Terima kasih Atas kunjungannya

Kamis, 01 November 2012

Agamamu apa ?





Ini pertanyaan paling menyebalkan yang pernah saya rasakan.
Si penanya seolah-olah hendak menghakimi, mencari sekutu, atau memberi kuliah saya.
Jika jawaban saya ternyata sama dengan agama yang dia anut, mungkin saja dia merasa mendapat sekutu. Atau, jika jawaban saya sama dengan yang dia mau tapi dia tak suka dengan perbuatan saya, maka terbentuk opini di otaknya, ‘wong agamane anu kok tingkahe ngono’ atau ‘pantes agamane anu, lha wonge…’

Halah, saya paling alergi dengan pertanyaan soal agama, apapun alasannya.
Bagi saya itu pertanyaan paling tak bermutu, seolah tak ada hal lain yang lebih penting untuk ditanyakan dan dibahas. Buang waktu saja!

Bagi saya, agama itu hal yang bersifat pribadi.
Bagaimana cara kita berhubungan dengan Tuhan (jika percaya), itu adalah pilihan dan hak kita, urusan kita, bukan urusan orang lain.
Toh semisal berbuat dosa atau kejahatan, kita yang menanggung akibatnya, bukan orang lain.
Jadi janganlah terlalu mengurusi hal privat seperti agama ini.

Kawan saya, orang Amerika yang kebetulan berdarah Arab, sempat curhat soal agama dan perilaku orang Indonesia ini.

“Kau tahu,” katanya, “waktu di Bali, ada peristiwa yang selalu menggangguku.
Setiap aku memesan kamar di penginapan, atau setiap orang di jalan bertanya siapa namaku, lalu kujawab, mereka akan bilang ooo.. kau muslim.
Berbeda dengan di tempatku.
Jika mereka bertanya siapa namaku dan kujawab, mereka akan bilang ooo.. senang berkenalan denganmu.”

Saya terbahak mendengarnya.
Tapi begitulah, orang suka menghakimi seseorang sebagai si muslim, si katolik, si Buddha, si Hindu, berdasarkan nama.
Jika nama atau atribut lain seperti jilbab, janggut panjang, jubah, atau kalung salib tak dikenakan, maka mereka akan bertanya ‘agamamu apa?’


Seberapa penting pertanyaan tentang agama ini?


Kasus 1

Di dermaga Hitu Lama, Kairatu, Pulau Ambon, seorang tukang ojek mendekati saya. Saya bilang hendak ke Benteng Amsterdam, lalu putar-putar daerah sekitar.
Dia memandang saya sejenak, sebelum bertanya, “Kakak orang Islam atau Kristen?”

Saya terhenyak.
Pertanyaan tentang agama sangat sensitif di Maluku, khususnya Pulau Ambon.
Salah jawab, bisa saja leher kita digorok jika dianggap berpihak dengan musuh yang sedang bersengketa.

“Memangnya kenapa kalau agama saya Islam atau Kristen?” saya balik bertanya.

“Kalau kakak orang Islam, akan saya bawa ke masjid tertua di sini, di Desa Kairatu.
Tapi kalau Kristen, kakak akan saya bawa mengunjungi gereja kayu yang tua. Itu tempat bersejarah, Kak,” jawabnya sambil tersenyum ramah.

“Oo.. kalau begitu bawa saya ke kedua tempat itu. Agama saya kemanusiaan.”
Saya pun segera naik ke motornya, sementara tukang ojek itu terbengong tolol.


Kasus 2

Pada hari terakhir tinggal di rumahnya, Reddie, kawan saya keturunan etnis Tamil-India di Nibong Tebal, Malaysia, baru bertanya soal agama kepada saya.
Waktu itu ada pasangan Marks dan Tine, orang Afrika Selatan.

“Kalau boleh tahu, agamamu apa?” tanya Reddie.

“Ah.. susah menjawabnya uncle,” kata saya sambil manyun.
“Ibu saya dulu Katolik, ayah saya muslim. Tapi kakek saya kejawen.”

“Apa itu kejawen?” Reddie bertanya lagi.

“Semacam akulturasi kepercayaan nenek moyang dengan Hindu dan Buddha,” jawab saya asal.

Reddie mengangguk-angguk. “Kau tahu, anak perempuan saya masuk Kristen setelah kawin dengan orang Kristen.
Sementara anak laki-laki masuk Islam karena kawin dengan perempuan melayu yang jadi guru agama.”

“Lalu, bagaimana perasaanmu sekarang, uncle?” tanya saya ingin tahu.

Reddie mengangkat bahu. “Terserah mereka. Bukankah cinta lebih penting daripada agama?”
Saya tersenyum simpul.

Kata kawan saya orang Melayu, di Malaysia sekali orang menganut Islam maka seumur hidup dia terikat menjadi Islam.
Bahkan, kalau mati pun jasadnya akan dicari untuk dikuburkan secara Islam.
Tak seperti di Indonesia yang orang bebas berganti agama atau kawin antar agama (walau pasti ditolak pengadilan agama, tapi sering terjadi), di Malaysia siapapun yang kawin dengan orang Islam harus masuk Islam. Alamak!


Kasus 3

Bahkan di pedesaan pelosok Kamboja, soal agama juga jadi bahan pertanyaan.
Padahal di masa lalu,
Polpot berkuasa cukup lama di sini dengan rezim komunisnya.
Dalam kesempatan makan malam, di hari pertama kedatangan saya di Kempeng Village, nyonya rumah yang cantik menanyakan agama saya.

Saya tak hendak menjawab untuk berpolemik.
 Jadi saya angkat saja tangan kanan saya yang dililit gelang dari benang, pemberian seorang pendeta di Angkor Wat.
“Oo.. agamamu rupanya sama dengan kami, Buddha.” Dia tersenyum manis.
 Saya tak menjawab atau mengangguk. Hanya berbalas senyuman manis.


Kasus 4

Saya pikir orang Thailand paling toleran pasal agama.
Bahkan di daerah konflik mirip Yala, Pattani, tak ada orang yang menanyakan saya beragama apa.
Bebas saja kita masuk wat (kuil) dan melihat atau mengikuti prosesi sebuah upacara.
Bahkan 2 mantan monk (pendeta) tempat saya menginap di Chiang Mai tak sekalipun pernah bertanya apa agama saya.
Sungguh menentramkan.

Pertanyaan tentang agama justru datang dari Berm, kawan saya ahli ekologi dan tanaman hidroponik.
“Ary, apa agamamu di paspor?”

Saya melongo. “Agama tak dicantumkan dalam paspor Indonesia,” jawab saya.
Saya merasa pertanyaannya tolol.
Bukankah memang tak ada kolom agama dalam paspor?
Setahu saya, sudah beberapa kali Berm ke luar negeri.
Tapi mana bisa saya membaca paspornya yang berhuruf cacing itu. Weleeh!

“Jadi agamamu apa, Ary?” Berm mengulang pertanyaannya.

“Saya lebih percaya pada pohon besar, Berm!” Jawab saya ketus.

Kelak, ketika bertemu kawan-kawan pakar lingkungan dan hutan asal Australia di Melaka, jawaban ‘pohon besar’ saya ulang kembali.

“What’s your religion, Ary?”

“I believe in big tree, Berth”

“Ooo.. we are in the same side. We fight for our green planet,”  kata Berth sambil menepuk-nepuk pundak saya.
Saya ngakak di dalam hati.

Dalam bayangan saya, makhluk hijau itu hanya si kodok kermit dan manusia perkasa incredible hulk. Halah!

Jadi, apa agamamu saudara-saudara?
Pertanyaan ini saya ulang tanpa menggenggam bakiak, hehe…



Sumber :
Ary Hana.
http://baltyra.com/2012/10/31/agamamu-apa/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar