Terima kasih Atas kunjungannya

Sabtu, 13 Oktober 2012

Pertemuan dan perpisahan.



Pisah Sambut

Should auld acquaintance be forgot,

And never brought to mind?

Should auld acquaintance be forgot,

And auld lang syne?

For auld lan syne, my dear, for auld lang syne,

We’ll take a cup o’kindness yet, for auld lang syne .

And surely ye’ll be your pint-stowp!

Sepenggal lagu ciptaan Robert Burns (1759 – 1796) di atas, sungguh amat mengharukan ketika dikidungkan pada acara old and new.
Dalam permenungan tersebut, setiap orang tunduk kepala dan tentunya dalam hati mengenang kembali peristiwa dan kejadian yang telah dilewati.
Pembakaran kalender dari tahun yang telah berlalu menambah harunya suasana.
Bulan per bulan, kalender dibakar dan di sana orang-orang hanya tertunduk diam dan hening serta tidak ada satu kata pun terucap.
Barangkali orang sedang berasyik masyuk dengan pengalamanya masing-masing.
Pengalaman kecewa, sakit hati, getir dan dikhianati itu membuat hidup menjadi “lumpuh sejenak” dan tidak berdaya.
Namun manusia tidak boleh berlarut-larut – yang menurut bahasanya Dale Carnegie dalam Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia – sebagai pengalaman “menangisi susu yang telah tumpah.” Melalui pengalaman yang telah berlalu, mau tidak mau kita harus berani mengucapkan selamat berpisah dengan peristiwa-kejadian yang menyakitkan.
Berpisah dengan masa lalu memang tidak mudah.
Saya pernah berjumpa dengan seorang oma yang sudah sakit-sakitan.
Selama hidupnya – pada usia produktif – setiap malam menerima setoran dari anak buahnya.
Setiap malam itu pula, oma ini menghitung labanya dengan suka cita.
Kebiasaan itu sudah berjalan puluhan tahun.
Kini oma ini sudah pikun.
Dari pagi hingga malam, ia ngomel-omel minta setoran.
Lalu oleh anak-anaknya, diberi uang-uangan dari permainan monopoli.
Oma itu langsung tersenyum senang.
Dia tidak mau berpisah dengan kebiasaan lamanya.
Aneh tetapi nyata!!

Ada lagi, seorang mertua yang senantiasa berkelahi dengan menantunya gara-gara sang mertua selalu memanggil thole kepada anaknya yang sudah beristri itu.
Dalam hati seorang ibu tentu tidak mau berpisah dengan putra kesayangannya.
Sebutan sayang-sayang, thole itu sudah mengakar dalam dirinya, sehingga sulit sekali untuk melepaskan. William Shakespeare (1564 – 1616) dalam King Lear, hendak memperlihatkan kepada kita bahwa berpisah dengan kemasyuran itu tidak mudah.
Tahta itu nikmat, maka sulit untuk melepaskannya.
Dengan penuh harap, ia mengundang ketiga putrinya (Goneril, Regan dan Cordelia) untuk mendengarkan “puji-pujian” mereka.
Pencapaian King Lear atas hidupnya sebagai raja, tidak mau diganggu gugat dan ingin selalu direngkuhnya serta tidak mau lepas.
Ia tidak mau berpisah dengan hingar-bingar nikmatnya suatu kekuasaan.
Berpisah memang menyakitkan, apalagi berpisah dengan seseorang yang amat berharga bagi dirinya.
Maka tidak mengherankan ada orang yang tidak bisa tidur dan tidak mau makan gara-gara ditinggal tugas di luar kota.
Kita juga tidak perlu kaget, jika ada orang yang bunuh diri, gara-gara ditinggal pacarnya. Itulah sebabnya dalam ajarannya, Sidharta Buddha Gautama (563 – 483 seb. M) mengatakan bahwa perpisahan itu sangat menyakitkan, terlebih dengan orang-orang yang dicintai.
Di Pulau Samosir, (Sumatra Utara) ada Raja Tomok yang begitu mencintai anak laki-lakinya.
Ketika sang anak meninggal, ia belum siap menerima kenyataan ini. Maka, dibuatlah patung yang sangat mirip dengan wajah anaknya.
Sang Raja menganggap bahwa anaknya itu tidak pernah mati. Tempat inilah yang dinamakan dengan sigale-gale.
Cinta ayah pada anaknya begitu berat untuk dipisahkan.
Perpisahan dengan orang yang dicintai itu menurut bahasa Sang Buddha merupakan penderitaan karena perubahan (Viparinama-Dukkha).
Berubah karena pernah dicintai, kemudian mengalami suatu kebencian atau kematian.
Dalam M.E (Marriage Encounter) ada sesi yang berbicara tentang kematian pasangan.
Kematian adalah sesuatu yang pasti, tetapi kadang orang “takut” untuk membicarakan.
Membayangkan kematian pasangan dan berpisah untuk selama-lamanya yang amat dicintai, merupakan proses perpisahan yang realistis, tetapi ini merupakan perpisahan yang paling berat.
Romeo menghunus pedangnya ke dadanya sendiri ketika menyaksikan Juliet terbujur kaku atau San Pek ikut masuk dalam kuburan Eng Tay karena tidak sanggup hidup sendiri tanpanya (Bdk. Buku yang berjudul: San Pek- Eng Tay, sebuah kisah sedih dua anak manusia)

Setiap peristiwa – termasuk pengalaman berpisah – perlu kita sikapi dengan bijak.
Setiap orang – siap atau tidak siap – tentu akan mengalami suatu perpisahan.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, kita perlu belajar dari ketegaran Dewi Anjani yang siap melepaskan Hanoman pergi jauh menjadi duta Rama.
Film yang berjudul, 300 mengajarkan kepada kita tentang seorang wanita Sparta yang dengan rela melepaskan anak-anak mereka pada usia remaja untuk dididik menjadi prajurit yang gagah perkasa.
Umur produktif manusia pun ada batasnya. Ada waktunya kita berani melepaskan, letting go dan memberikan tongkat estafet kepada generasi muda.
Untuk segala sesuatu ada waktunya. Alexander Agung (354 – 323 seb. M) ketika meninggal dunia pada usia muda, berpesan jika mangkat, supaya tangannya dibiarkan terbuka. Ini menunjukkan bahwa ketika orang wafat tidak membawa apa-apa (tangan kosong).
Kitab Pengkhotbah menulis, “Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam” (Pkh 3: 2).
Manusia harus berani berpisah dan menyambut hal-hal yang baru dalam hidupnya.
Hal-hal yang baru itu kadang menakutkan, tetapi juga kadang memberi pengharapan.

  • Tak terasa, tiba-tiba saya teringat masa lalu.

  • Kehidupan manusia berlalu dengan cepatnya.

  • Banyak sekali yang telah dilalui.

  • Ada yang lancar.

  • Ada yang penuh rintangan.

  • Ada yang penuh kegembiraan.

  • Ada pula yang penuh kegetiran.

  • Semua pasti mengalaminya. Itulah kehidupan manusia.

  • Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau cantik.

  • Saat kita 30 tahun merasa sungguh enak andaikan kita kembali muda lagi.

  • Saat kita 40 tahun merasa sungguh enak andai kita punya banyak uang.

  • Saat kita 50 tahun merasa ada kesehatan sungguh enak sekali.

  • Saat kita 60 tahun merasa untuk dapat hidup saja sudah sangat bagus.

  • Saat kita 70/80 tahun merasa kenapa hidup ini serasa sangat singkat sekali.

Membaca puisi di atas, lantas saya mulai membuka FB dan BB serta YM.
Saya pandangi satu per satu sahabat-sahabat yang memasang picture-nya .
Dalam puisi tertulis,
“Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau cantik”.
Saya merasa sahabat-sahabat ku ini umurnya 35 tahun ke atas.
Tetapi herannya, setiap orang memasang foto yang sedang action.
Bahkan satu hari ganti tiga kali.
Barangkali ini yang dinamakan dengan salah-mongso.
Ranggawarsito (1802 – 1873) dalam Serat Kalatida,  “Zaman edan, sing ora edan ora komanan.”




Sumber :
http://www.misacorindo.org/marlon/2012/01/01/pisah-sambut/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar