Terima kasih Atas kunjungannya

Minggu, 06 November 2011

Mataku kini memandangi jalan-jalan penuh keindahan.



Sebuah buku Gede Prama yang bertajuk : Jalan-Jalan Penuh Keindahan. Membaca tulisan Gede Prama ini membuatku ingin menuliskan beberapa ide yang sungguh menggugah hatiku, terutama di saat ini, di mana begitu banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupanku.



Melihat Sidik Jari Tuhan


Gede Prama melalui buku yang dia baca, Handbook for the Soul karangan Rabbi Harold Kushner, menuliskan bahwa di setiap kejadian ada sidik jari Tuhan.
Terkadang, kita terlalu sibuk untuk melihat hal itu. Untuk merasakan bahwa God’s fingerprint is everywhere in this daily life of ours.
Dia bisa menyapa lewat senyuman seorang anak, dia bisa menyapa lewat sebuah e-mail yang ‘inspiring’ yang kita terima, dia bisa menyapa lewat telepon dari seorang sahabat lama yang sudah lama tak saling kontak, dia bisa menyapa lewat alam: embun, matahari, awan, mendung, hujan, angin, pohon, bunga, daun.
Dia bisa menyapa lewat apa saja yang ada di hidup kita atau setiap kejadian yang ada di sekitar kita. Masalahnya, cukup pekakah kita untuk merasakan kehadiranNya? Untuk merasakan bahwa Dia melalui sidik jariNya ingin memberi arti lebih untuk hidup kita? Melalui sidik jariNya Dia ingin mengajak kita lebih dekat lagi denganNya?
Dia tidak jauh, Dia dekat di hati kita. Dan Dia berbicara lewat semua hal yang terjadi dalam hidup kita. Sudahkah kita sempatkan diri kita menyapaNya dan menyadari hasil karyaNya dalam hidup kita hari ini?



Harta karun sepanjang perjalanan


Gede Prama mengisahkan sebuah buku yang dibaca, The Alchemist karya Paulo Coelho. Intinya menceritakan seorang anak kecil , bernama Santiago yang bermimpi harus pergi ke Piramid di Mesir karena ada harta karun yang siap digali dan ditemukan. Mimpi itu terus hadir berulang-ulang. Dan Santiago menuruti mimpinya. Pergilah ia ke pelabuhan, dan di sana dia ditipu orang sehingga uangnya habis dan dia menjadi sengsara. Akhirnya dia diterima menjadi pegawai di toko kristal, di mana ia belajar kehidupan dengan membersihkan kristal. Setelah uang terkumpul, ia menyeberangi gurun pasir dengan kendaraan yang ada saat itu.
Ada pertempuran dahsyat di gurun, dan perjalanannya terhenti di sebuah Oasis. Di sini ia terhenti lama, sampai menemukan Fatima yang bersedia menjadi kekasihnya. Dia juga bertemu the alchemist (orang bijak yang sudah menemukan misi hidupnya) yang menjadi guru Santiago.

Setelah bosan menunggu perang berakhir, Santiago berangkat ditemani gurunya ke Mesir. Di tengah jalan, lagi-lagi dia terkena sial, dia ditangkap sekelompok pasukan perang dan diancam dibunuh. Untuk memperpanjang waktu, the alchemist mengatakan kalau Santiago adalah seorang alchemist yang bisa mengubah diri menjadi angin yang bisa merontokkan segalanya dalam tiga hari. Santiago ketakutan, dan dengan terpaksa karena dirinya bukan alchemist, dia berdoa dan bermeditasi. Alhasil, hari ketiga tiba, dia berhasil mendatangkan angin yang meruntuhkan tenda. Bebaslah ia dari ancaman kematian.

Lalu akhirnya ia sampai di Piramid. Ia menggali dan terus menggali. Tiba-tiba datang orang yang curiga: cari apa? Santiago yang polos itu menceritakan kalau dirinya tengah mencari harta karun. Orang asing tadi curiga, jangan-jangan sebagian harta sudah diketemukan. Dirampas dan dibukalah tasnya. Di sana tersisa emas hasil pemberian gurunya. Melihat hasil itu, dipukulilah Santiago agar ia menggali lebih keras. Hasilnya, tanah-tanah kosong. Semakin ia tidak menemukan yang dicari, makin berat siksaan yang diterima. Dalam kesedihan yang mendalam ini, tiba-tiba ia protes keras dengan sang hati: bagaimana hati bisa bohong padanya? Bukankah gurunya mengatakan suara hati adalah suara yang tertinggi?

Lama diratapinya nasibnya. Sampai akhirnya ia sadar bahwa sebenarnya dirinya sudah menemukan harta karun kehidupan di sepanjang perjalanan yang dilalui. Ketika dirampok di pelabuhan, untuk pertama kalinya, ia tahu lebih banyak tentang manusia lengkap dengan kenaifannya. Kala bekerja di toko kristal, ia tidak saja belajar membersihkan kristal, namun juga membersihkan hati dan pikiran. Dalam perjalanan menuju Oasis, ia tahu kalau gurun pasir adalah lambang kebijaksanaan yang amat tua. Di situ pula, ia bertemu cinta yang agung dan tinggi bersama Fatima. Bersama gurunya, the Alchemist, Santiago tidak saja tahu kalau ada orang yang bisa mengubah logam jadi emas, tapi juga dibantu untuk menemukan misi hidupnya. Ketika ditangkap, dengan keterpaksaan yang tinggi ia belajar berdoa.

Gede Prama menuliskan: ternyata harta karun kehidupan tercecer di sepanjang perjalanan. Tidak sedikit yang mengira kalau harta karunnya ada di tempat tujuan. Ada yang menganggap baru bahagia setelah pensiun. Dan setelah pensiun, mereka malah ditunggu penyakit, stres dan kematian. Ada yang berasumsi kalau hidupnya akan berarti jika anak-anak sudah selesai sekolah dan bekerja. Ternyata setelah anak bekerja, mereka berkeluarga dan sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang yakin kalau duduk di kursi tertinggi adalah kekayaan tertinggi. Begitu digergaji kiri dan kanan, dijatuhkan oleh ini itu, diterjang aneka skandal, mereka baru tahu kalau kursi panas itu tidak jauh berbeda dengan neraka.



My own reflection on this article …


Kita tidak perlu menunggu sampai keadaan sempurna baru bahagia. Karena keadaan tidak akan pernah sempurna. Apa yang kita bisa lakukan adalah just enjoy it along the way.
Sesuatu yang kita kira merupakan tujuan akhir hidup kita, merupakan harta karun kita dan kita perjuangkan dengan sungguh, belum tentu menjadi momentum yang paling membahagiakan. Karena harta karun kehidupan kita tercecer, bak sebuah puzzle dengan kepingan-kepingannya, ada di setiap bagian dari perjalanan hidup kita. It’s a part of the journey called LIFE.

Keadaan yang terburuk yang pernah terjadi, apabila kita telaah lebih lanjut, terkadang merupakan suatu cara dari yang kuasa untuk mendewasakan kita secara iman. Terkadang, pada saat kita mengalaminya, karena terlalu sedih atau terlalu menyakitkan, kita cenderung tidak mampu melihat rahmat yang tersembunyi di balik semua itu.
Jadi, apa yang kita anggap merupakan sesuatu yang buruk, mungkin tidak seburuk apa yang kita pikirkan. Tetap berusaha mencari, harta karun apa yang Tuhan sembunyikan dari kejadian-kejadian ini? Dan berusaha menemukan harta karun yang sudah Tuhan berikan melalui setiap detik kejadian dalam hidup kita. Everything happens for a reason.

Di masa lalu, Tuhan sudah berikan harta karunNya. Di hari ini, Tuhan juga menebar harta karunNya. Dan di masa depan, serpihan harta karun itu juga masih tetap ada.
Past, present, and our future adalah kepingan puzzle harta karunNya yang tersembunyi di balik semua peristiwa yang terjadi. Cukup pekakah kita menyadari setiap harta karunNya itu?

Gede Prama, pada buku ini menuliskan, bahwa maksud dari jalan-jalan keindahan adalah sederhana. Pertama, hidup di atas dualitas. Yaitu ketika suka itu berkunjung, cobalah untuk berbisik ke dalam diri: sebentar lagi ia juga akan pergi! Hal yang sama juga layak dibisikkan ketika kesedihan mengunjungi kehidupan.
Dan kedua, membingkai semua pandangan dengan rasa syukur. Ada banyak hal yang mengesankan yang kubaca dari buku ini,



Luka Ternyata Membawa Permata


Tidak ada orang yang berdoa agar hidupnya dilukai atau terlukai, entah secara fisik atau psikologis. Akan tetapi, kendati tidak berdoa, bahkan demikian waspada dan hati-hatinya terhadap kemungkinan dilukai, tetap saja luka-luka itu terkadang datang tak terelakkan. Entah itu melalui orang tua, pacar, teman kerja, relasi, tetangga, atau malah melalui pasangan hidup, tetap saja ada pintu-pintu kehidupan yang terbuka bagi datangnya luka. (hal.173)

Sejarah bangsa-bangsa membuktikan, bahwa bangsa yang besar juga memiliki sejarah luka yang hebat. Dan bentangan gambar kehidupan ini sedang bertutur: luka ternyata membawa harta! Sayangnya, terlalu sedikit yang bisa menemukan harta yang dibawa luka. Mungkin karena kita manusia sudah demikian seriusnya dengan air mata. Tidak saja air mata menutupi mata, tetapi juga menutupi hampir seluruh penglihatan tentang harta yang dibawa luka. Tidak sedikit orang yang tidak saja buta akan harta yang dibawa luka, sebaliknya di samping meninggalkan hartanya juga menciptakan luka-luka baru yang lebih dalam. Ini yang terjadi pada orang-orang yang luka, kemudian mengibarkan bendera-bendera kebencian dan pembalasan tinggi-tinggi. (hal.175).

Seorang sahabat Gede Prama yang bertahun-tahun digulung oleh gelombang besar luka dan menumpahkan air mata yang tidak sedikit, belakangan sempat berbisik pelan: hidup ini mirip dengan kegiatan membuka lapisan-lapisan bawang merah. Awalnya berwarna merah dan kering, semakin dibuka kulit bawang merahnya semakin ia berwarna lebih putih (baca jernih, bersih, tanpa cela). Dan di ujung perjalanan, yang tersisa hanya satu: air mata! Bukan air mata luka, tetapi air mata permata yang dibawa luka. Ia tidak melewati sungai duka cita, melainkan dibawa oleh cahaya-cahaya suka cita. Ia tidak ditemani oleh kebencian dan dendam, namun bersayapkan dua hal: cinta dan keikhlasan.



My reflection on this article…


Luka, suka atau tidak suka, tidak terelakkan dalam hidup ini. Luka memang terkadang amat menyakitkan, dan terkadang sedemikian sakitnya hati kita yang terluka, sehingga kita cenderung membenci dan mendendam. Banyak tindakan kekerasan, tindak kejahatan, dari tindakan kriminal ringan sampai pembunuhan berawal dari luka dan akhirnya membuat luka yang baru. Luka menimbulkan luka. Itu yang terjadi di masyarakat kita, dan tidak mustahil terjadi di dalam diri kita, entah di lingkup keluarga, lingkup pertemanan, atau lingkup dunia kerja.
It happens!
Namun, sebagai umat Kristiani, kita disadarkan oleh kasih Yesus. Kasih Yesus memampukan kita melewati semua luka bersama Dia. Dia selalu menemani kita dan kita tidak pernah dibiarkanNya sendirian. Luka memang menyakitkan, namun luka selalu bisa dipulihkan oleh kasih Yesus yang sempurna.
Kasih Yesus mampu memasuki relung-relung hati kita yang terluka parah. Dan bukan itu saja, juga mampu memulihkan dan menyembuhkannya kembali seperti sedia kala.
Dan setelah kita melewati itu semua, bersama Yesus tentunya, kita akan sadari bahwa luka itu juga membawa permata yang pada saat kita terluka, tidak bisa kita lihat kilau cahayanya.
And finally we can be what we are today, juga karena sebagian dari luka itu mendewasakan kita dan menjadikan kita ‘someone better.’
Luka bisa menjadikan kita tambah terpuruk. Tapi, dalam Tuhan, kita percaya bahwa luka menjadikan kita semakin berkilau bak permata. Permata-permataNya di dunia ini.




Sumber :
http://fjodikin.blogspot.com/2007/11/mataku-kini-memandangi-jalan-jalan.html
http://fjodikin.blogspot.com/2007/11/mataku-kini-memandangi-jalan-jalan_02.html
http://fjodikin.blogspot.com/2007/11/mataku-kini-memandangi-jalan-jalan_14.html
Gambar :http://www.borneophotography.org/senja-di-mataku.html

1 komentar:

  1. Teruntuk para sahabat, trimakasih dan mau menginformasikan kalau artikel Bpk Gede Prama lainnya yg versi bhs Inggris ada di http://www.gedepramascompassion.com

    BalasHapus