Terima kasih Atas kunjungannya

Jumat, 30 September 2011

Agama saya cinta.




Paradoks, itulah judul yang diberikan terhadap kecenderungan kekinian dalam kehidupan. John Naisbitt adalah salah satu tokoh yang berkontribusi besar terhadap populernya terminologi paradoks. Fundamental dalam pikiran orang-orang seperti Naisbitt, bila ada kecenderungan yang keluar dari rel akal sehat, dengan mudah masuk ke kotak paradoks. Sebagian dari manusia yang memberi judul paradoks kemudian kecewa, sebagian lagi malah bertumbuh justru karena paradoks. Tulisan ini berharap, mudah-mudahan lebih banyak sahabat yang dibuat bertumbuh oleh paradoks-paradoks berikut. Tidak menjadi niat tulisan ini agar paradoks-paradoks berikut menjadi awal permusuhan dan kecurigaan baru.

Sebagian paradoks yang layak dicermati adalah apa yang terjadi di Bali, India, Tibet sampai dengan Timur Tengah. Bali sebagaimana dikomunikasikan dalam waktu lama oleh industri pariwisata adalah pulau kedamaian. Namun di sini juga ribuan manusia dibantai karena judul komunis di tahun 1965. Di sini juga dua bom teroris meraung-raung memakan banyak jiwa manusia. Di sini juga sebuah kota terbakar karena calon presiden yang didukung tidak terpilih di tahun 1999. Di Bali juga terjadi orang sudah meninggal pun masih dihalangi agar pulang secara damai.

India juga serupa. Di sini lahir dua agama dunia (Hindu dan Buddha), di sini juga terlahir tokoh-tokoh spiritual yang besar dan mengagumkan dari Mahatma Gandhi, Ramakrishna, Svami Vivekananda, 0sho, Ramana Maharsi sampai dengan Buddha Gautama, Atisha, dan Acharya Shantidewa. Tapi di sini juga kebencian memacu permusuhan terus menerus, sehingga sahabat Hindu dengan sahabat Islam belum mengakhiri secara tuntas permusuhannya. Persoalan perbatasan masih memanas. Sejumlah tempat ibadah masih dijaga aparat.

Tibet adalah atap dunia. Seperti kepalanya Bumi. Sehingga mudah dimengerti di sini lahir banyak sastra kehidupan yang mengagumkan (salah satu contohnya The Tibetian Book of the Dead). Namun di sini juga kesedihan berumur teramat panjang. Dari pemimpinnya Dalai Lama sudah di pengasingan selama puluhan tahun, nasib rakyat Tibet yang penuh dengan tangisan. Dan belum ada tanda-tanda kuat kalau negeri suci ini akan mengalami perubahan.

Timur Tengah juga serupa. Di sini dua agama dunia (Islam dan Nasrani) pernah lahir. Namun di sini juga mesin-mesin senjata meraung-raung terus memakan korban-korban manusia tidak berdaya. Israel dan Palestina belum menunjukkan tanda-tanda berdamai dalam jangka panjang. Belakangan malah semakin menyedihkan.

Sehingga dalam totalitas, mudah dimengerti kalau Naisbitt pernah membaca sebuah kecenderunga mendunia: religion no, spirituality yes. Agama tidak, spiritualitas ya. Ini mirip dengan pengalaman seorang remaja Indonesia yang pernah kuliah di Melbourne. Suatu kali dalam kelas yang besar jumlah mahasiswanya, dosennya bertanya: any one of you who have religion? Siapakah yang memiliki agama di kelas ini? Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir orang saja.
Namun mahasiswa yang tidak menaikkan tangannya, kalau meminjam pensil tidak lupa mengembalikan. Bila bertemu Ibu-Ibu dosen membawa beban buku agak berat, cepat memberikan pertolongan. Bila antre di manapun sangat disiplin dengan antrean. Tatkala bertemu sahabat lain tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi. Bila ada teman dalam kesulitan, refleknya bekerja amat cepat untuk membantu. Bila masuk pintu lift atau pintu kereta api mendahulukan orang tua.

Sehingga menimbulkan pertanyaan, apa agama orang-orang ini? Mirip dengan sejumlah wisatawan manca negara yang datang ke Bali, ketika ditanya apakah Anda Nasrani, ia hanya menjawab dengan senyuman tidak bersuara. Tetapi sopannya ya ampun. Masuk rumah mengetok pintu, lupa dipersilahkan duduk, kemudian bertanya: boleh saya duduk? Bila tidak sependapat, memulai dengan kata ‘maafkan kalau saya tidak sependapat’. Dan sejumlah sopan santun yang menyentuh hati.

Ini juga yang membuat sejumlah sahabat di dunia spiritual mulai bergeser: dari pengetahuan spiritual menuju pencapaian spiritual.
Belajar dari Buddha lengkap dengan welas asihnya tentu baik.
Membaca puisi-puisi sufi yang bertema cinta dan hanya cinta, tentu berguna.
Kagum dengan doa Santo Fransiscus dari Asisi tentu bermakna.
Jatuh cinta sama Bhagawad Gita tentu sebuah pertumbuhan jiwa.
Mendalami kebijaksanaan-kebijaksanaan Confucius tentu saja bermanfaat.
Namun mengaktualisasikannya ke dalam pencapaian spiritual keseharian, tentu memerlukan upaya yang jauh lebih keras lagi.

Banyak guru yang sepakat, jembatan terpenting yang menghubungkan antara pengetahuan spiritual dengan pencapaian spiritual adalah latihan. Seperti menemukan keseimbangan bersepeda, hanya latihan yang paling banyak membantu. Dan waktu serta tempatnya tersedia di mana-mana secara berlimpah. Di rumah, tempat kerja, sekolah, jalan raya, tempat ibadah, sampai dengan lapangan sepak bola, semuanya bisa menjadi tempat-tempat menemukan pencapaian spiritual. Seperti kalimat indah Kahlil Gibran: keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang sebenarnya.

Menyayangi istri/ suami, mendidik putera/ puteri, mencintai orang tua, menghormati tetangga, menghargai pendapat/ sikap yang berbeda, menghormati atasan, menghargai jasa pemerintah, berterimakasih pada tukang sapu/ pembantu, bila mampu mencintai musuh, adalah rangkaian pencapaian spiritual keseharian yang mengagumkan. Pengetahuan spiritual memang kaya kata-kata, namun pencapaian spiritual kaya akan pelaksanaan.

Kagum dengan pencapaian spiritual Dalai Lama, Richard Gere pernah bertanya pada pemimpin spiritual Tibet ini tentang agama yang sebenarnya dianut Dalai Lama dalam keseharian. Dengan senyuman penuh di muka, Dalai Lama menjawab: agama saya yang sebenarnya adalah kebaikan.

Ini mirip dengan cerita tentang mahasiswa Melbourne di depan yang tidak menaikkan tangan ketika ditanya punya agama atau tidak. Namun kesehariannya rajin membantu, sekaligus jarang menyakiti. Sebagian dari orang-orang ini sambil berguman mengatakan: agama saya Cinta




Sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2008/10/28/agama-saya-cinta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar