Terima kasih Atas kunjungannya

Minggu, 17 April 2011

Suku Korowai, penjaga keseimbangan dan kelestarian hutan Papua.

detik_HutanKorowai2jpg-

Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam ber-speed boat dari Senggo, akhirnya kami tiba di desa Basman. Hari itu, 20 Oktober 2010, menempuh jalur sungai Daerum, lalu memasuki anak sungai Daerum Kabur yang dahsyat dan penuh rintangan, kami pun tiba lewat tengah hari.

Lalu kami berkenalan dengan Ibu Mantri dan Bapak Kepala Desa Basman yang masih berdarah Suku Korowai. Kemudian kami makan siang di rumah Pak Mantri tersebut.





Setengah jam kemudian kami melanjutkan perjalanan ke hutan yang tak terlalu jauh jaraknya dari desa Basman. Memasuki hutan belantara yang lebat dan hijau, semakin lama kami semakin sadar dan bersyukur masih ada tanah Indonesia yang masih alami dan belum tersentuh tangan jahil manusia.









Hutan yang lebat dan terjaga kelestariannya, merupakan ciri tanggung jawab
Suku Korowai terhadap alam yang dihuninya. Bukan hanya pepohonan yang tinggi dan lebat, namun flora dan fauna yang jarang dapat kita saksikan. Satwa langka atau flora yang langka, sepertinya tidak berlaku kata 'langka' disini. Hutan lebat nan hijau telah memberikan kecukupan makanan bagi fauna yang tinggal di dalamnya. Burung Urip, atau Nuri Papua, kupu-kupu hutan, serangga hutan, bahkan mungkin cendrawasih pun masih bergeral bebas di hutan ini. Di Desa Basman, seorang keturunan suku Korowai bahkan memelihara kasuari layaknya ayam kampung. Ya, tepatnya di kolong rumah panggung di desa Basman.







Saya dan Harley tak lelah terus memasuki hutan yang lebat ini. Teriknya matahari terbayar dengan segarnya udara yang kami hirup di bawah pepohonan tinggi yang sangat lebat. Tak jarang kami lihat pohon kayu besi, damar, dan kayu putih yang tingginya lebih dari 30 meteran. Sebuah paru-paru nusantara di ujung timur Indonesia.





Seperti telah saya dan Harley gambarkan pada artikel dan foto sebelumnya, ciri khas Suku Korowai adalah rumah tinggalnya yang tinggi, di atas pohon-pohon damar yang puluhan meter tingginya. Semua bahan dasar rumah tinggi Suku Korowai dari hutan dan rawa sekitar mereka tinggal. Dari kayu, tiang rumah berupa pohon hidup, dahan dan ranting, hingga rotan dan akar sebagai tali pengikat. Atapnya pun dari daun sagu yang dirangkai kuat dan tebal serta tahan terhadap hujan yang lebat sekalipun. Semuanya dari hutan, dan mereka tidak pernah kekurangan bahan bangunan meskipun 3 sampai 5 tahun mereka harus berpindah ke pohon yang lain untuk membangun rumah yang baru.





Sempat kami naik ke salah satu rumah pohon Suku Korowai tersebut. Takjub dan bahagianya saya. Dengan segala keterbatasannya akan teknologi, Suku Korowai bahkan mampu membangun sebuah mahakarya berupa 'arsitektur hijau' sejak ratusan tahun yang lalu. Setelah menikmati pisang hutan yang disuguhkan oleh penghuni rumah tersebut, sekitar dua puluh menit kemudian kami pun turun dan kembali ke desa Basman dengan perasaan yang sangat senang. Dan tentunya, tak habis rasa kagum saya terhadap suku pedalaman ini.



Suku Korowai hanya akan turun ke tanah untuk mencari makanan, baik dengan berburu ataupun mengambil buah-buahan dan sayuran dari hutan. Mereka belum mengenal pertanian dengan baik. Mungkin karena semuanya tersedia di hutan. Dengan kesederhanaan mereka ini, satwa dan tumbuhan hutan terjaga kelestariaannya. Berburu hanya saat lapar, hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Menebang pohon pun tidak mereka lakukan, hanya sekedar menebang dahan dan ranting untuk lantai dan dinding rumah mereka. Tiang rumah mereka pun dari pohon yang hidup dan masih tumbuh daun-daunnya dari dahan-dahan yang mereka sisakan di tiang rumahnya.

Sangat berbeda dengan masyarakat kota yang modern. Jika menemukan hasil hutan yang melimpah, langsung dieksploitasi, dan seringkali dialihfungsikan tanpa pertimbangan yang matang. Entah ulah oknum ataupun keserakahan yang berjamaah, namun eksploitasi hutan tetap saja menimbulkan banyak bencana. Tidak sedikit tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya akibat penggundulan hutan.

Dari sini, mari bercermin pada Suku Korowai yang katanya suku yang asing, masih polos dan jauh dari peradaban. Ternyata mereka adalah suku yang sangat bijak terhadap alamnya, yang menghargai alam sebagai sumber penghidupan mereka. Merasa cukup hanya dengan menghilangkan lapar di perut, tak pernah berlebihan mengambil hasil hutan. Hewan, ikan, hanya mereka tangkap di kala lapar, begitu pun kayu dan tetumbuhan yang hanya mereka ambil untuk keperluan secukupnya saja.

Ratusan tahun mereka tinggal di hutan ini, hutan tetap lebat, hijau, lengkap dengan satwa langka yang biasa lalu lalang di dalamnya. Jika saja semua bijak terhadap alam sebagaimana Suku Korowai, tentulah alam Indonesia ini akan semakin hijau dan tidak ada lagi polusi dan limbah.



Marilah kita bijak pada alam, karena alam pun merasakan apa yang kita lakukan. Jika saja alam bisa bicara, mungkin yang kita dengar sekarang adalah tangisan alam dari hampir seluruh pelosok negeri. Mungkin hanya beberapa saja alam yang masih tersenyum. Dan senyum alam yang manis adalah senyum hutan Korowai




Sumber : detiktravel
http://bacaananda.blogspot.com/2011/03/suku-korowai-penjaga-keseimbangan-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar